Home » » Kalau Mau, Kita Bisa!

Kalau Mau, Kita Bisa!

Written By Ledia Hanifa on Rabu, 02 Oktober 2013 | 12:08:00 AM

Orang boleh berkata bahwa peluang laki-laki dan perempuan dalam berkreasi dan berkontribusi  di tengah masyarakat sudah terbuka lebar-lebar di abad 21 ini. Begitupula bahwa sebenarnya perempuan Indonesia sungguh beruntung karena memiliki kesempatan memberi manfaat sosial jauh lebih besar dari berbagai perempuan di belahan bumi lain, semisal di beberapa negara Afrika dan Timur Tengah.
Namun itu bukan berarti langkah para perempuan ini tanpa kendala. Termasuk dalam menjadi anggota parlemen.
Menjadi anggota parlemen yang berarti memberikan kontribusi publik dalam hal menentukan kebijakan negara dan mengawasi jalannya pemerintahan masih menyisakan pe-er sangat besar di negeri ini. Bukan hanya soal jumlah yang masih sedikit (hanya terdapat sekitar  18 % perempuan di parlemen dari target pencapaian 30% sesuai undang-undang) namun juga soal kepercayaan publik dan kesiapan para perempuan itu sendiri. 
Perempuan yang menjadi anggota dewan kerap dipertanyakan kemampuannya. Bisa apa sih dia? Apa dia bisa, kan dia perempuan? Anak siapa sih? Backingnya siapa? Dan banyak lagi.
Dan pertanyaan-pertanyaan yang mempertanyakan kemampuan ini bisa muncul baik berkaitan dengan tugas-tugas kedewanannya maupun tugas-tugas “keperempuanannya”. Apa dia bisa menyeimbangkan aktivitas kedewanan dengan kehidupan rumah tangganya? Apa anaknya akan terurus dengan baik? Apa dia masih menjalankan kodratnya sebagai perempuan?
Kadang saya jadi senyum-senyum sendiri (atau bersama para staf di kantor) saat wartawan mempertanyakan itu dalam wawancara mereka. Sebab itu menjadi seolah-olah para lelaki anggota dewan tidak perlu berpikir untuk juga menyeimbangkan  aktivitas kedewanan dengan kehidupan rumah tangganya, tidak perlu mengupayakan agar anaknya terurus dengan baik dan tetap menjalankan kodrat kelelakiannya untuk mendidik dan mengayomi keluarganya.
Berikutnya, soal kinerja parlemen itu sendiri. Sebenarnya, perempuan atau laki-laki sih yang lebih aware terhadap suatu permasalahan? Well, jawaban saya singkat saja: It depends.
Jadi kalau kita bicara tentang para anggota dewan yang seringkali jadi sorotan terkait dengan kebijakan dan sensitivitas mereka akan sebuah masalah, jawabannya pun akan tergantung dari aktivitas si anggota dewan itu sebelumnya, background-nya apa.
Orang yang background-nya kaku pada satu profesi dan kemudian tidak juga terlibat interaksi sosial dengan masyarakat, ya memang susah. Tetapi kalau orang yang memang hidupnya, backgroundnya, simpel saja, sederhana, tapi banyak berinteraksi dengan orang, dia tentu sudah banyak mendapatkan aspirasi sebelumnya. Dia sudah tahu kondisi-kondisi lingkungannya, kiri-kanannya, masyarakatnya. Nah, orang seperti inilah yang biasanya lebih aware.
Begitupula dalam konteks sebagai anggota dewan. Meski kami sama-sama anggota dewan, tetap saja kami harus membangun common sense di antara kami. Kami tetap harus menyampaikan kepada teman-teman sesama anggota DPR, “Ini problem loh, ini harus diselesaikan loh. Atau, “Ini sebenernya enggak gede-gede amat persoalannya. Ini bisa dilakukan dengan cara begini dan begini.”
Jadi kami tetap harus menyosialisasikan persoalan-persoalan itu kepada teman-teman sendiri. Mungkin kita yang lebih banyak tahu menjadi harus banyak komunikasi. Dan kalau sudah perkara pemahaman, kemampuan mencari solusi, berkomunikasi, itu bukan lagi soal apakah dia laki-laki atau perempuan.
Kadang-kadang yang menohok saya adalah betapa kebanyakan orang, masyarakat kita, ternyata belum bisa melihat bahwa tidak semua perempuan anggota dewan sesungguhnya sedang ingin mengejar karier. Boleh jadi karena panggilan nurani. Bahkan dia harus mengorbankan sesuatu yang personal untuk kemudian memberikan kontribusi kepada masyarakat.
Bukan berarti laki-laki tidak berangkat juga dari adanya panggilan nurani untuk memberikan kontribusi kebaikan pada masyarakat, tetapi persoalannya, dalam kultur kita, urusan domestik itu memang masih diserahkan hampir sepenuhnya kepada sosok ibu. Sehingga effort yang dilakukan oleh seorang perempuan ketika dia berada di ranah publik pastilah jauh lebih besar ketimbang dengan bapak-bapak itu.
Artinya, “OK, si bapak mau beraktivitas dari pagi sampai pagi lagi di luar, maka dia tidak memikirkan rumah, sudah ada yang mengurus. Beda effort-nya dengan para ibu, bukan?”
Mungkin ada yang berkilah, Tetapi kan ibu-ibu ini punya pembantu (atau kerabat-kerabat lain yang mensupportnya)?” “Iya, memang betul, tapi, as a manager tetap saja dia yang mikirin.”
Jadi, kalau saya ngobrol-ngobrol dengan ibu-ibu yang jago-jago, yang hebat-hebat, di dewan itu, mereka akan tetap berkata dalam bagian dari pembicaraan “official” kami:  “Oh ini karena tadi pagi musti ngurusin sarapan dulu…” atau “Oh, tadi pagi enggak sempat ngurusin sarapan.” Atau “ Ayah, kita beli makanan di luar aja, yuk?” Nah, begitu.
Itu semua kan merupakan bagian dari sebuah managing. Sehingga saya sering menyampaikan, please…jangan tuntut seorang perempuan menjadi seorang superwoman tanpa ada kerja sama dengan pihak-pihak lain terutama dalam keluarga intinya.
Dan kemudian jangan juga kita menilai seseorang perempuan itu, dia berhasil mendidik anaknya atau enggak hanya dari kesertaannya sebagai anggota dewan.
Mari kita buat sebuah penilaian yang fair tentang perempuan di parlemen, dengan mengingat bahwa seorang laki-laki anggota dewan pun tentunya harus sukses dalam membangun keluarganya.
Bahkan, kalau kita bicara dalam konsep Islam, qowwam-nya rumah tangga adalah laki-laki. Sehingga sudah seharusnya mereka sebagai leader di keluarga pun berhasil.
Nah, karena itulah pertanyaan yang kadang menggelitik muncul adalah: kenapa para perempuan harus dinilai dua kali lebih berat ketimbang laki-laki padahal sebetulnya semua soal ini, baik urusan keberhasilan dalam kemaslahatan umat dan kemaslahatan rumah tangga adalah pekerjaan yang sama yang harus dilakukan laki-laki dan perempuan? Bantu-membantu.
Ini tentunya bukan sebuah upaya tuntut-menuntut untuk menjadi sama persis setara, ibarat apple to apple. Tidak begitu. Tetapi kita perlu selalu mengingat bahwa masing-masing pihak mempunyai proporsi. Maka, nilailah proporsi itu secara fair.
Sebenarnya, sebagai perempuan, kami sangat diuntungkan, karena secara psikologis rata-rata perempuan itu mampu multitasking. Bisa mengerjakan segala macam. Apalagi kalau yang terbiasa berorganisasi. Sambil memikirkan urusan masak-memasak, mereka bisa menelepon anak-anak, sekaligus mikirin undang-undang.
Kalau mau, seharusnya kita, para perempuan bisa membangun networking yang luar biasa sebagai supporting system. Namun kita juga harus melihat bahwa kita harus punya idealisme ketika berada di parlemen.
Idealismenya itu apa? ya dakwah. Artinya, coba dipertanyakan kembali. Kita ini sebenarnya mau jadi apa sih? Kita mau membangun apa sih? Kalau cuma mau cari duit di DPR, mending tidak usahlah. Bukankah kita ini harus membangun Indonesia yang adil, sejahtera, dan bermartabat?
Itu adalah idealisme yang harus kita bangun, dan untuk itu kitalah yang harus mem-breakdown implementasinya.
Memang, setiap orang punya idealisme yang berbeda-beda, dan range-nya pasti akan sangat beragam. Namun, langkah saya di parlemen sekarang ini alhamdulillah, saya rasa masih dalam track yang benar. Dan hingga kini, saya masih ingin mengoptimalkan semua potensi saya supaya saya bisa memberikan kontribusi yang lebih besar.
Karena yang saya yakin, kalau kita mau, kita bisa.
Perempuan, Bisa!











0 comments:

Posting Komentar