Home » , , , » UU JPH Terabaikan

UU JPH Terabaikan

Written By Ledia Hanifa on Selasa, 11 Juli 2017 | 4:03:00 AM

JAKARTA- Komisi VIII DPR meminta pemerintah untuk segera menyelesaikan peraturan turunan dari UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Sebab, tanpa peraturan turunan, seperti peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (perpres), hingga peraturan menteri (permen), UU JPH tidak bisa dijalankan.

Anggota Komisi VIII DPR Ledia Hanifa Amaliah menjelaskan, sejak UU JPH diundangkan di Jakarta pada 17 Oktober 2014, pemerintah memiliki dua tahun untuk membuat peraturan turunan. Namun, sampai hari ini, tak satu pun PP, perpres, dan permen, yang sudah dituntaskan.

"Itu sudah pelanggaran terhadap undang-undang. Sebab, jatuh tempo 17 Oktober 2016," kata Ledia kepada Republika di Jakarta, Ahad (16/10). Pada Pasal 65 UU JPH disebutkan, peraturan pelaksana undang-undang ini harus ditetapkan paling lama dua tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan.

Menurut Ledia, pemerintah bisa dituntut atas pelanggaran undang-undang walaupun tidak memiliki konsekuensi pidana. Namun, dia mengatakan, DPR masih memiliki hak untuk bertanya kepada pemerintah, terkait alasan dan kendala di balik tidak rampungnya peraturan turunan dari UU JPH.

Ledia mengatakan, DPR juga masih bisa mendesak pemerintah agar PP, perpres, hingga permen, segera dibuat. Dan, memang hal tersebut telah dilakukan setiap rapat bersama.

Akan tetapi, menurut politikus PKS ini, pemerintah belum bisa memberikan jawaban yang jelas tentang kendala yang mengadang.

Jauh sebelum disetujui dalam Rapat Paripurna DPR pada 25 September 2014 dan ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 17 Oktober 2014, tarik-ulur mewarnai kelahiran UU JPH. Sejak diserahkan Komisi VIII DPR selaku pengusul kepada Badan Legislasi DPR pada 9 Juni 2011, pembahasan RUU ini memakan waktu hingga lima kali masa sidang.

Lamanya masa pembahasan tak lepas dari kehati-hatian DPR dan perbedaan persepsi antara DPR dan pemerintah dalam sejumlah aspek. Namun, akhirnya perbedaan tersebut dapat diselesaikan.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR ketika itu Ahmad Zainuddin mengatakan, urgensi RUU JPH adalah penerapan Pasal 28 dan Pasal 29 UUD 1945. Selain itu, penyusunan draf RUU JPH dihadirkan lantaran UU Pangan tidak cukup untuk mengatur JPH.

Dengan demikian, keberadaan UU JPH diharapkan memberi kepastian hukum dan jaminan halal bagi konsumen, khususnya masyarakat Islam sebagai konsumen terbesar. Untuk itu, perlu ada tindakan preventif terhadap setiap produk dengan keterangan halal.

Terdapat sejumlah amanah UU No 33/2014 yang seharusnya dijalankan selepas diundangkan dua tahun silam. Salah satunya adalah pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Namun hingga kini, pembentukannya masih sumir. Pun pembuatan peraturan pelaksana UU No 33/2014 lainnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch, Ikhsan Abdullah, mengkritik sikap pemerintah yang mengabaikan UU JPH.

"Terlihat pemerintah tidak serius melindungi warga negara mendapatkan jaminan untuk memperoleh produk halal," kata Ikhsan kepada Republika di Jakarta, Ahad (16/10). Menurut dia, ketidakmampuan pemerintah membuat peraturan pelaksana UU JPH merupakan pelanggaran terhadap undang-undang itu sendiri.

Kekecewaan Ikhsan bertambah lantaran pemerintah seharusnya melihat tren yang berkembang di banyak negara. Tidak terkecuali negara-negara non-Muslim, seperti Thailand hingga Jepang, yang mulai menyadari pentingnya keberadaan produk halal pada keseharian mereka.

Indonesia, menurut Ikhsan, memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin industri halal dunia, sekaligus memiliki posisi penting di pasar halal internasional. Selain itu, Indonesia bisa membendung produk-produk impor yang tidak memiliki kehalalan.

Meskipun peraturan pelaksana UU No 33/2014 tentang JPH belum selesai, Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) akan tetap menjalankan tugas sebagai lembaga otonom dalam pengurusan sertifikasi halal. Hal ini selaras dengan isi Pasal 59 dan 60 UU JPH.

Pada Pasal 59 disebutkan sebelum BPJPH dibentuk, pengajuan permohonan atau perpanjangan sertifikat halal dilakukan sesuai dengan tata cara memperoleh sertifikat halal yang berlaku sebelum UU ini diundangkan. Sementara Pasal 60 menyebutkan, MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang sertifikasi halal sampai dengan BPJPH dibentuk.

"Sambil menunggu itu, sertifikasi halal di kami akan jalan terus. Kami tetap melakukan fungsi seperti amanah umat," kata Direktur LPPOM MUI, Lukmanul Hakim. Dia menjelaskan, apabila PP JPH sudah dirilis, LPPOM MUI akan segera melakukan penyesuaian.

Jika mengacu pada UU No 33/2014, BPJPH akan menjalin kerja sama dengan MUI dalam pemeriksaan dan/atau pengujian produk. Begitu pula, penetapan kehalalan produk yang dikeluarkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk.

Namun, Lukmanul menyayangkan sikap pemerintah yang tidak mengajak LPPOM MUI dalam pembahasan draf PP JPH. Padahal, MUI memiliki peran krusial di dalamnya.

Pembahasan hanya dilakukan antara sejumlah kementerian dan lembaga terkait. "Artinya, pemerintah belum siap melibatkan stakeholders yang ada," kata Lukmanul.      rep: Wahyu Suryana, Ali Mansur, Fuji Pratiwi, ed: Muhammad Iqbal

http://www.republika.co.id/berita/koran/halaman-1/16/10/17/of6jg15-uu-jph-terabaikan

0 comments:

Posting Komentar