Home » , , » Korupsi: Ongkos politik sangat mahal, pejabat 'terpaksa perdagangkan kewenangan'

Korupsi: Ongkos politik sangat mahal, pejabat 'terpaksa perdagangkan kewenangan'

Written By Ledia Hanifa on Rabu, 27 Maret 2019 | 12:40:00 AM

Ongkos mahal untuk menjadi pejabat publik atau anggota badan legislatif diklaim menjadi salah satu faktor utama mengapa pejabat pemerintah dan anggota DPR atau DPRD melakukan korupsi.

Klaim tersebut diutarakan dua anggota DPR dan mantan anggota DPRD.
Anggota DPR, Akbar Faizal, mengatakan kadang-kadang upaya untuk menjadi anggota badan legislatif dibiayai dengan cara menjual aset atau berutang kiri-kanan, yang ia gambarkan sebagai cara-cara yang berisiko.

"Maka ketika ia kemudian mendapatkan jabatan itu, hampir dipastikan, yang pertama ada di kepalanya adalah, mengembalikan atau mencari uang agar biaya-biaya yang ia keluarkan bisa kembali," kata Akbar kepada wartawan BBC News Indonesia, Mohamad Susilo.

"Satu-satunya cara adalah memperdagangkan jabatannya pada berbagai kewenangan yang ia miliki, seperti proses-proses penganggaran yang memang melibatkan DPR atau pemerintah, seperti gubernur dan bupati," katanya.

Biaya akan makin tinggi jika seorang calon tidak dikenal sebelumnya oleh masyarakat di daerah pemilihan.

Subur Triono, anggota DPRD Kota Malang periode 2014-2019, mengakui bahwa besarnya biaya untuk menjadi anggota dewan mendorong seseorang melakukan korupsi.
Hak atas foto Antara
Image caption Sejumlah anggota DPRD Kota Malang menjalani sidang di Pengadilan Tipikor di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 17 Januari 2019.

Subur mengatakan "budaya politik uang" membuat ongkos untuk menjadi pejabat publik dan anggota dewan menjadi sangat tinggi.

"Biaya operasional politik menjadi besar karena money politics. Akhirnya ketika terpilih menjadi anggota dewan atau aktif di pemerintahan, akan cari dana-dana yang sifatnya ilegal," kata Subur.

Ia memberikan ilustrasi dirinya yang sekarang mencalonkan diri menjadi anggota DPR dari satu daerah pemilihan di Jawa Timur yang terdiri atas tiga wilayah kabupaten.
'Masyarakat minta bantuan'

Subur mengatakan sebisa mungkin meminimalkan ongkos sosialisasi ke masyarakat di tiga kabupaten tersebut dan ia menekankan bahwa tidak boleh ada pemberian uang dengan imbalan suara.

"Tapi kadang-kadang saat sosialiasi, ada anggota masyarakat yang minta bantuan, kemudian ada pula yang mengatakan kalau tidak ada uang maka mereka tidak akan mencoblos. Hal-hal semacam ini yang harus dihindari," kata Subur.

Subur adalah satu dari empat anggota DPRD Kota Malang yang tidak ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi anggaran 2015.

Anggota-anggota lain, yang berjumlah 41 orang, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Ini adalah salah satu kasus korupsi yang paling menyita perhatian publik.

Wali Kota Malang, Sutiaji mengatakan kasus di Malang harus menjadi pelajaran penting.

"Bahwa apa pun yang dilakukan (oleh pejabat pemerintah dan anggota dewan) harus berdasarkan regulasi. Semua tahapan yang diambil harus dipastikan sesuai dengan undang-undang," kata Sutiaji kepada wartawan BBC News Indonesia, Endang Nurdin.
Hak atas foto Antara
Image caption Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan kerugian negara akibat korupsi pada 2019 bisa mencapai Rp200 triliun.

"Siapa pun, apakah itu eksekutif maupun legislatif, tidak boleh melakukan tindakan yang transaksional," tambahnya.

KPK mengatakan kasus korupsi besar kemungkinan meningkat pada 2019. Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, mengatakan hal ini didasarkan pada perkiraan masih banyak korupsi yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sementara nilai APBN pada 2019 lebih dari Rp2.165 triliun.

Saut mengatakan kalau proporsi yang dikorupsi 10%, berarti nilai kerugian negara sekitar Rp200 triliun dalam satu tahun.

"Bagaimana KPK harus jaga tempat-tempat di mana kerugian negara bisa muncul ... karena nilai APBN-nya makin besar, common sense-nya adalah kami akan lebih banyak melakukan penindakan," kata Saut.

Anggota DPR Ledia Hanifa mengatakan ongkos politik yang tinggi sebenarnya bisa ditekan.

Ledia mengatakan partai politik bisa memanfaatkan secara lebih maksimal dana bantuan pemerintah untuk parpol dan uang iuran anggota partai dan iuran anggota dewan untuk membantu calon.

"Yang paling penting adalah bagaimana parpol menjalankan fungsinya sebagai pelaksana pendidikan politik, bahwa politik itu it is not all about money, tidak melulu soal uang," kata Ledia.

"Tapi ini adalah bagian dari regulasi yang harus diperjuangkan, ada hak-hak masyarakat, ada kewajiban masyarakat, dan mereka harus tahu dan mereka nanti bisa berpartisipasi secara penuh," katanya.

"Ketika kita sejak awal membiasakan transaksional, maka itu akan jadi pola," kata Ledia.

Ia juga mengatakan publik juga kadang bersedia memberikan bantuan kepada seorang calon, misalnya dalam bentuk membantu mencetakkan kalender berisi foto calon.

Subur Triono, anggota DPRD Kota Malang periode 2014-2019 mengambil pendekatan yang kurang lebih sama. "Ongkos politik saat sosialisasi ke masyarakat harus diminimalkan. Saya pribadi saat melakukan kampanye, lebih menekankan silaturahmi," kata Subur.

Senada dengan Ledia Hanifa, anggota Akbar Faizal mengatakan penting untuk melakukan pendidikan politik ke masyarakat.

Menurut Akbar, parpol "gagal menjalankan" fungsi pendidikan politik ini.

"Bayangkan misalnya, kalau semua calon bersepakat tidak akan memberikan ruang bagi politik uang, maka itu sudah merupakan kemajuan besar," kata Akbar.


https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46905735

0 comments:

Posting Komentar