Orang boleh berkata bahwa peluang laki-laki dan
perempuan dalam berkreasi dan berkontribusi
di tengah masyarakat sudah terbuka lebar-lebar di abad 21 ini. Begitupula
bahwa sebenarnya perempuan Indonesia sungguh beruntung karena memiliki
kesempatan memberi manfaat sosial jauh lebih besar dari berbagai perempuan di
belahan bumi lain, semisal di beberapa negara Afrika dan Timur Tengah.
Namun itu bukan berarti langkah para perempuan ini
tanpa kendala. Termasuk dalam menjadi anggota parlemen.
Menjadi anggota parlemen yang berarti memberikan
kontribusi publik dalam hal menentukan kebijakan negara dan mengawasi jalannya
pemerintahan masih menyisakan pe-er
sangat besar di negeri ini. Bukan hanya soal jumlah yang masih sedikit (hanya
terdapat sekitar 18 % perempuan di parlemen dari target
pencapaian 30% sesuai undang-undang) namun juga soal kepercayaan publik dan
kesiapan para perempuan itu sendiri.
Perempuan yang menjadi anggota dewan kerap
dipertanyakan kemampuannya. Bisa apa sih dia? Apa dia bisa, kan dia perempuan?
Anak siapa sih? Backingnya siapa? Dan
banyak lagi.
Dan pertanyaan-pertanyaan yang mempertanyakan
kemampuan ini bisa muncul baik berkaitan dengan tugas-tugas kedewanannya maupun
tugas-tugas “keperempuanannya”. Apa dia bisa menyeimbangkan aktivitas kedewanan
dengan kehidupan rumah tangganya? Apa anaknya akan terurus dengan baik? Apa dia
masih menjalankan kodratnya sebagai perempuan?
Kadang saya jadi senyum-senyum sendiri (atau bersama
para staf di kantor) saat wartawan mempertanyakan itu dalam wawancara mereka.
Sebab itu menjadi seolah-olah para lelaki anggota dewan tidak perlu berpikir
untuk juga menyeimbangkan aktivitas
kedewanan dengan kehidupan rumah tangganya, tidak perlu mengupayakan agar
anaknya terurus dengan baik dan tetap menjalankan kodrat kelelakiannya untuk
mendidik dan mengayomi keluarganya.
Berikutnya, soal kinerja parlemen itu sendiri. Sebenarnya,
perempuan atau laki-laki sih yang
lebih aware terhadap suatu permasalahan? Well,
jawaban saya singkat saja: It depends.
Jadi kalau kita bicara tentang para anggota dewan yang
seringkali jadi sorotan terkait dengan kebijakan dan sensitivitas mereka akan
sebuah masalah, jawabannya pun akan tergantung dari aktivitas si
anggota dewan itu sebelumnya, background-nya apa.
Orang yang background-nya
kaku pada satu profesi dan
kemudian tidak juga terlibat interaksi sosial dengan masyarakat, ya memang susah. Tetapi kalau orang
yang memang hidupnya, backgroundnya, simpel saja, sederhana, tapi banyak
berinteraksi dengan orang, dia tentu sudah banyak mendapatkan aspirasi
sebelumnya. Dia sudah tahu kondisi-kondisi
lingkungannya, kiri-kanannya, masyarakatnya.
Nah, orang seperti inilah yang biasanya lebih aware.
Begitupula dalam konteks sebagai anggota dewan. Meski
kami sama-sama anggota dewan, tetap saja kami harus membangun common sense di
antara kami. Kami tetap harus
menyampaikan kepada teman-teman sesama anggota DPR, “Ini problem loh, ini harus
diselesaikan loh.”
Atau, “Ini sebenernya enggak gede-gede amat persoalannya. Ini bisa dilakukan
dengan cara begini dan begini.”
Jadi
kami tetap harus menyosialisasikan persoalan-persoalan itu kepada teman-teman
sendiri. Mungkin kita yang lebih banyak tahu menjadi harus banyak komunikasi. Dan kalau sudah perkara pemahaman, kemampuan mencari
solusi, berkomunikasi, itu bukan lagi soal apakah dia laki-laki atau perempuan.
Kadang-kadang yang menohok
saya adalah betapa kebanyakan orang,
masyarakat kita, ternyata belum bisa melihat bahwa tidak semua perempuan
anggota dewan sesungguhnya sedang ingin
mengejar karier. Boleh
jadi karena panggilan nurani. Bahkan dia harus mengorbankan sesuatu yang
personal untuk kemudian memberikan kontribusi kepada masyarakat.
Bukan
berarti laki-laki tidak berangkat
juga dari adanya panggilan nurani untuk memberikan kontribusi kebaikan pada
masyarakat, tetapi persoalannya, dalam kultur kita,
urusan domestik itu memang masih
diserahkan hampir sepenuhnya kepada
sosok ibu. Sehingga effort
yang dilakukan oleh seorang perempuan ketika dia berada di ranah
publik
pastilah jauh lebih besar
ketimbang dengan bapak-bapak itu.
Artinya,
“OK, si bapak mau beraktivitas dari
pagi sampai pagi lagi di luar, maka dia
tidak memikirkan rumah, sudah ada yang mengurus. Beda effort-nya dengan para ibu, bukan?”
Mungkin ada yang berkilah, “Tetapi kan ibu-ibu ini punya pembantu (atau kerabat-kerabat lain yang mensupportnya)?” “Iya, memang betul, tapi, as a
manager tetap saja
dia yang mikirin.”
Jadi,
kalau saya ngobrol-ngobrol dengan ibu-ibu yang jago-jago, yang hebat-hebat, di
dewan itu, mereka akan
tetap berkata dalam bagian dari pembicaraan “official” kami:
“Oh ini
karena tadi pagi musti ngurusin
sarapan dulu…” atau “Oh, tadi
pagi enggak sempat ngurusin sarapan.”
Atau “ Ayah, kita beli makanan di luar aja, yuk?” Nah,
begitu.
Itu
semua kan merupakan bagian
dari sebuah managing. Sehingga saya
sering menyampaikan, please…jangan
tuntut seorang perempuan menjadi
seorang superwoman tanpa ada kerja sama dengan pihak-pihak lain terutama dalam keluarga intinya.
Dan
kemudian jangan juga kita menilai
seseorang perempuan itu, dia berhasil mendidik
anaknya atau enggak hanya dari
kesertaannya sebagai anggota dewan.
Mari kita buat sebuah penilaian yang fair
tentang perempuan di parlemen, dengan
mengingat bahwa seorang laki-laki anggota dewan pun tentunya
harus sukses dalam membangun
keluarganya.
Bahkan, kalau kita bicara dalam konsep Islam,
qowwam-nya rumah tangga adalah
laki-laki. Sehingga sudah seharusnya
mereka sebagai leader di keluarga pun berhasil.
Nah,
karena itulah pertanyaan yang kadang menggelitik
muncul adalah: kenapa para
perempuan harus dinilai dua kali lebih berat ketimbang laki-laki padahal
sebetulnya semua soal ini, baik urusan
keberhasilan dalam kemaslahatan umat dan kemaslahatan rumah tangga adalah
pekerjaan yang sama yang harus dilakukan laki-laki dan perempuan?
Bantu-membantu.
Ini tentunya bukan sebuah upaya tuntut-menuntut
untuk menjadi sama persis setara, ibarat apple to
apple. Tidak begitu. Tetapi kita perlu selalu mengingat bahwa masing-masing pihak mempunyai proporsi. Maka, nilailah proporsi itu
secara fair.
Sebenarnya,
sebagai perempuan, kami sangat diuntungkan, karena secara psikologis rata-rata
perempuan itu mampu multitasking. Bisa mengerjakan segala macam. Apalagi
kalau yang terbiasa berorganisasi. Sambil memikirkan urusan masak-memasak, mereka bisa menelepon
anak-anak, sekaligus mikirin undang-undang.
Kalau
mau, seharusnya kita, para
perempuan bisa membangun networking yang luar
biasa sebagai supporting system. Namun kita juga harus melihat bahwa
kita harus punya idealisme ketika berada di parlemen.
Idealismenya
itu apa? ya dakwah. Artinya, coba dipertanyakan kembali. Kita
ini sebenarnya mau jadi apa sih?
Kita mau membangun apa sih? Kalau
cuma mau cari duit di DPR, mending tidak usahlah. Bukankah kita ini harus membangun Indonesia
yang adil, sejahtera, dan bermartabat?
Itu
adalah idealisme yang harus kita
bangun, dan untuk itu kitalah yang harus mem-breakdown
implementasinya.
Memang,
setiap orang punya idealisme yang berbeda-beda, dan range-nya pasti akan
sangat beragam. Namun, langkah saya di parlemen sekarang ini alhamdulillah,
saya rasa masih dalam track yang benar. Dan hingga kini, saya masih
ingin mengoptimalkan semua potensi saya supaya saya bisa memberikan kontribusi
yang lebih besar.
Karena yang saya yakin, kalau kita mau, kita bisa.
Perempuan, Bisa!
0 comments:
Posting Komentar