Sudah nonton “Suatu Pagi di Victoria Park”nya Lola Amaria? saya belum. Hanya melihat cuplikannya saja di
Kick Andi. Waktu ditanya untuk apa membuat film ini, dengan tegas Lola menjawab
bahwa ia ingin memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa tidak semua TKI
“menderita atau disiksa”.
Menurut Lola persoalan besar tenaga kerja kita justru ada pada diri TKI yang bersangkutan. Soal ketidaksiapan mental menghadapi kehidupan di luar
negeri misalnya,
serta perilaku hidup yang
konsumtif digambarkan
menjadi penyebab utama. Hmmm, memang kalau dicamkan dan
dilihat dari beberapa fenomena kasus TKI –terutama di Hongkong- masuk akal juga penjelasannya, tapi sesungguhnya hal itu menjadi kurang
lengkap jika persoalannya menyangkut keseluruhan nasib TKI kita.
Jika kita hanya membicarakan Hongkong, keadaan para tenaga kerja Indonesia memang jadi sangat berbeda
dengan di negara lain. Soal kebijakan negara saja misalnya, pemerintah Hongkong memberikan hari libur bagi
pekerja (termasuk pekerja rumah tangga) pada setiap akhir pekan. Sehingga memungkinkanlah para TKI untuk bisa berkumpul di Victoria Park.
Mereka bisa melakukan
aktifitas apa saja disana. Mau yang positif, bahkan juga yang negatif. Amat beralasan bila inti
masalah bisa diukur dari adakah kesiapan
para TKI sendiri untuk beradaptasi dengan pola hidup yang
berbeda dengan pola di negeri sendiri dan memilih yang terbaik.
Mereka yang berhasil secara umum pada akhirnya berujung pada orang-orang yang punya bekal kepribadian yang cukup, punya motivasi untuk sukses dan punya
perencanaan masa depan yang baik. Kira-kira begitulah menurut salah seorang TKI pemenang Migrant
Worker Award 2010. Dan ternyata soal ini bukan
cuma sang ibu
ini yang menyatakan demikuan. Banyak TKI atau mantan TKI
lain yang juga mengatakan itu meski mereka bekerja di
berbagai negara yang berbeda.
Masalah Bermula Sejak
Rekrutmen
Tetapi sayangnya nasib sebagian besar TKI kita
yang lain justru ditentukan saat dimulainya rekrutmen awal di
tanah air. Para TKI kita kebanyakn tidak mendapat
informasi yang cukup tentang pekerjaan yang akan mereka lakukan. Mereka juga tidak mendapat informasi tentang budaya,
bahasa, apalagi hukum-hukum di negara tujuan.
Parahnya banyak
juga diantara para calon TKI ini yang
tidak menyadari bahwa identitas mereka bahkan dipalsukan.
Mulai dari soal
umur, asal wilayah, hingga status kesehatan dan skill yang dimiliki.
Belum lagi kalau
mereka berhadapan dengan para PPTKIS ‘nakal’. Maka perjanjian kerja yang semestinya dipaparkan tidak pernah mereka tahu
apa isinya.
Bahkan berapa besaran gaji yang
akan diterima pun mereka tidak tahu. Paling-paling hanya “katanya-katanya”.
Begitu pula mereka juga tidak tahu berapa jumlah pemotongan
gaji yang akan
dikenakan, berapa lama akan dipotong dan untuk apa sebenarnya gaji mereka itu dipotong. Berbagai
informasi menyebutkan, TKI di
Hongkong ada yang mengalami pemotongan gaji selama 9 bulan, di Malaysia 6
bulan, Singapura 7 bulan. Mereka juga tidak tahu jika ada masalah harus mengadu
kemana.
Kemudian, masalah penempatan para TKI ini juga bukan tanpa
masalah. Meskipun dalam UU 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menyebutkan bahwa Pemerintah Indonesia
tidak boleh mengirimkan tenaga kerja ke negara
yang tidak memiliki perjanjian bilateral dengan Pemerintah Indonesia atau ke negara yang tidak punya undang-undang yang melindungi
tenaga kerja asing, tetap saja pengiriman berlangsung dengan sepengetahuan
pemerintah.
Begitulah, Pemerintah Indonesia memang belum memiliki Bilateral Agreement dengan pemerintah
manapun. Yang ada hanyalah kerjasama teknis dalam bentuk MoU dengan negara tujuan. Bahkan terhadap negara-negara yang perlindungan terhadap tenaga
kerjanya relatif baik sekalipun, seperti Singapura, kita juga
tidak punya perjanjian antar pemerintah.
Belum lagi jika membicarakan soal keterampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja kita.
Untuk tenaga kerja formal seperti pekerja pabrik, perawat, pendamping orang tua tentu memiliki kualifikasi tersendiri. Sedangkan
pembantu rumah tangga tidak ada kualifikasi yang jelas. Meskipun secara umum
orang tahu bahwa pekerjaannya seputar membantu pekerjaan-pekerjaan di rumah
tangga. Memasak, mencuci, beres-beres, menyeterika dll.
Namun, urusan
pekerja formal pun masih banyak hambatannya. Para perawat contohnya. Perawat Indonesia sampai saat ini tidak memiliki sertifikasi yang diakui secara
internasional atau yang
dikenal dengan nama lain Registered Nurse.
Registered Nurse ini dapat
dikeluarkan oleh Konsil keperawatan di Negara masing-masing, sementara konsil ini dibentuk oleh Undang-undang.
Sayangnya sampai sekarang kita belum memiliki Undang-undang Keperawatan. Dan
inilah yang
kemudian menyebabkan banyak
perawat kita yang sesungguhnya
telah memiliki kompetensi setingkat registered
nurse harus di down grade menjadi assistant nurse dan care
givers.
Bahkan mereka yang merupakan pekerja formal ini pun bisa
saja mengalami pengalihan pekerjaan dan atau pemberi kerja alias majikan di
tengah jalan. Seorang mantan TKI Formal menceritakan bahwa semula dirinya disebutkan bekerja di sebuah negara di kawasan Timur Tengah sebagai penterjemah. Ini sesuai dengan
keahliannya di bidang bahasa. Tetapi
ternyata ketika tiba di negara tujuan pekerjaannya beralih menjadi supir.
Bayangkan, jika TKI yang
bekerja formal saja bisa mengalami masalah, apalagi TKI non formal seperti pembantu rumah tangga yang umumnya tak memiliki
keahlian khusus, buta informasi, dan memiliki pendidikan rendah. Tak heran jika banyak kasus pemindahan
majikan terjadi
termasuk yang dialami seorang TKI yang dalam 7 bulan masa kerja berpindah ke 7 majikan.
Masalah Berlanjut di Tanah Air
Cerita tentang kepulangan TKI juga tak kalah
menyedihkan. Mereka yang bermasalah, menjadi korban trafficking atau overstayer juga
tidak mudah untuk kembali ke tanah air.
Selain belum tentu mereka mendapat exit permit dari pemerintah setempat, kalaupun sampai dengan selamat di negeri sendiri, belum
tentu “selamat” saat berada di terminal kedatangan di tanah air.
Penukaran uang dengan rate yang dipaksakan amat rendah, transportasi ke daerah asal yang sangat
mahal dan lama,
pemaksaan untuk membayar uang
makan di tempat singgah selama perjalanan yang tidak masuk akal, sampai
perampasan barang bawaan di tengah jalan adalah cerita yang sangat banyak didengar dan terjadi
berulang-ulang.
Begitulah derita tenaga kerja kita. Dan
penyelesaiannya juga tidak mudah, sehingga dapat diumpamanakan bak mengurai benang kusut.
Semoga dengan disegerakannya revisi UU 39
tahun 2004 di DPR dan kemauan pemerintah untuk melakukan perbaikan sistem
yang menyeluruh dari
kebijakan dan tata aturan soal TKI dapat
menguraikan kekacauaan
benang kusut ini.
0 comments:
Posting Komentar