Perdebatan manfaat imunisasi dan kehalalan vaksin adalah isu lama yang tak kunjung usai. Dari sekian banyak vaksin, yang sudah dipastikan halal baik dari kandungan bahan maupun proses pembuatannya baru segelintir.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa bahwa sepanjang belum ada vaksin halal, penggunaan vaksin apa pun masuk kategori keadaan darurat yang diperbolehkan. Argumentasinya adalah ijtihad yang mengedepankan kemaslahatan dan mencegah kemu-daratan.
Namun, situasi ini seharusnya mengusik pemikiran kita. Mayoritas dah 230-an juta penduduk Indonesia adalah Muslim. Dengan asumsi laju pertumbuhan 1,49 persen per tahun versi BKKBN, setidaknya 2,5 juta anak akan butuh imunisasi polio per tahun. Belum lagi menghitung imunisasi ulangan yang juga dapat diberikan. Setiap tahun, sekurangnya 200 ribu Muslim Indonesia pun berangkat haji dan butuh imunisasi meningitis.
"Dengan jumlah penduduk dan mayoritas Muslim, seharusnya Indonesia bisa memproduksi vaksin halal," kata Anggota Komisi VIII DPR, Ledia Hanifa. Selasa (6/12). Apalagi, produsen vaksin terbesar Indonesia adalah BUMN, PT Bio Farma. Dalil agama yang mendukung imunisasi adalah keharusan mencegah terkena penyakit. Juga dalil untuk tidak meninggalkan anak dalam kondisi yang rentan atau lemah. Selain dengan menjaga prasarana, sanitasi misalnya, dalil tersebut juga memungkinkan adanya isolasi. Imunisasi diklasifikasikan sebagai pence-gahan dengan isolasi itu. Tak lagi tersisa banyak perdebatan tentang topik ini.
Namun, masalah kehalalan terus menjadi dasar penolakan sebagian kalangan untuk mau mengimunisasi anaknya. Halal atau tidaknya vaksin umumnya tidak terkait dengan bahan pembuatnya, tapi lebih pada proses pembuatan terutama dalam tahap pembuatan vero di masa pembibitan.vaksin polio, misalnya, masih menggunakan enzim tripsln dari pankreas babi untuk proses pemisahan dalam tahap pembiakan. Vaksin lain, influenza salah satunya, menggunakan bagian tubuh kera. Ada juga vaksin yang pembuatannya dibantu unsur janin hasil aborsi.
Perdebatan tak surut meski dipastikan bahwa pada produk akhir vaksin tak lagi ditemukan kandungan enzim babi. Produk akhir vaksin sudah melewati tahap pencucian dan pemurnian. Argumentasi yang menganalogikan proses pembuatan vaksin dengan pemurnian air minum dari kali yang penuh najis belum cukup meredam isu ini.
Baru vaksin campak yang dipastikan halal karena menggunakan telur ayam dalam proses pembuatannya. Sejak 2010, sudah ada pula vaksin meningitis yang halal meskipun harganya diklaim lebih dari tujuh kali lipat vaksin yang dibuat dengan bantuan tripsin babi.
"Mahal atau tidaknya vaksin halal, iturelatif. Toh. produk halal ini juga bakal terpakai terus," kecam Ledia. Bisa jadi yang ada saat ini mahal karena masih terbatas. Sementara itu, produsen seperti PT Bio Farma yang sudah mengantongi sertifikat prakualifikasi WHO, seharusnya melihat besarnya potensi pasar Muslim untuk membuat produk massal vaksin halal.
Pada akhirnya, ini hanya soal mau atau tidak saja," kata Ledia.
/http://republika.co.id:8080/koran/0/149649/Menagih_Komitmen_Produksi_Vaksin_Halal
0 comments:
Posting Komentar