"Apakah Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal dapat disetujui dan disahkan menjadi undang-undang?" tanya Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Priyo Budi Santoso, dalam Sidang Paripurna. "Setuju," sahut anggota DPR yang hadir dalam sidang itu. Palu sidang pun diketuk. Sah.
Siang itu, hampir satu setengah tahun lalu, Kamis 25 September 2014, Sidang Paripurna DPR akhirnya menyetujui RUU Jaminan Produk Halal menjadi UU. Setelah melewati pembahasan selama delapan tahun, RUU yang memuat 11 bab dan 68 pasal itu berakhir "mulus" di sidang paripurna.
Situasi yang menurut Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ledia Hanifa Amaliah berbeda saat proses pembahasan. Perdebatan alot terjadi di Komisi. Substansi RUU jadi sorotan. Lima kali masa sidang pun dilalui.
Anggota Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal, Raihan Iskandar, mengungkapkan, kendala utama pembahasan RUU itu soal produk yang disertifikasi, wajib ataukah sukarela.
"Ada perbedaan pendapat dengan pemerintah. Apakah diwajibkan untuk semua produk (mandatory) atau sukarela (voluntary)," ujar Raihan, saat proses pembahasan.
Perdebatan sengit juga terjadi saat membahas siapa yang berwenang mengeluarkan sertifikat itu. Sertifikasi yang selama ini dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan diambil pemerintah, yakni menteri agama. Namun, MUI merespons negatif wacana tersebut.
Ihwal ini, Raihan berpendapat bahwa Majelis Ulama Indonesia harus dilibatkan. Alasannya, penyertaan MUI dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat yang selama ini antipati dengan pemerintahan.
Selama masa pembahasan itu, anggota DPR, Tb Ace Hasan Syadzily, pun menegaskan, kewenangan MUI tidak akan dipangkas dalam UU Jaminan Produk Halal. MUI masih berwenang mengeluarkan fatwa halal atau haram suatu produk.
"MUI masih terlibat dalam penentuan fatwa halal atau tidak sebuah produk," kata anggota Komisi VIII dari Fraksi Golkar, saat itu.
DPR dan pemerintah pun melanjutkan pembahasan RUU ini usai masa reses, pada Mei 2014. "Beruntung", setelah proses yang panjang, pada penghujung masa jabatannya, anggota DPR periode 2009-2014 mampu menyelesaikan pembahasan RUU itu dan mengesahkannya.
Pada 17 Oktober 2014, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, Amir Syamsudin, pun telah mengundangkannya sebagai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.
Dalam UU itu disebutkan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Untuk itu, pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan jaminan produk halal.
http://sorot.news.viva.co.id/news/read/735252-produk-delapan-tahun
Siang itu, hampir satu setengah tahun lalu, Kamis 25 September 2014, Sidang Paripurna DPR akhirnya menyetujui RUU Jaminan Produk Halal menjadi UU. Setelah melewati pembahasan selama delapan tahun, RUU yang memuat 11 bab dan 68 pasal itu berakhir "mulus" di sidang paripurna.
Situasi yang menurut Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ledia Hanifa Amaliah berbeda saat proses pembahasan. Perdebatan alot terjadi di Komisi. Substansi RUU jadi sorotan. Lima kali masa sidang pun dilalui.
Anggota Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal, Raihan Iskandar, mengungkapkan, kendala utama pembahasan RUU itu soal produk yang disertifikasi, wajib ataukah sukarela.
"Ada perbedaan pendapat dengan pemerintah. Apakah diwajibkan untuk semua produk (mandatory) atau sukarela (voluntary)," ujar Raihan, saat proses pembahasan.
Perdebatan sengit juga terjadi saat membahas siapa yang berwenang mengeluarkan sertifikat itu. Sertifikasi yang selama ini dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan diambil pemerintah, yakni menteri agama. Namun, MUI merespons negatif wacana tersebut.
Ihwal ini, Raihan berpendapat bahwa Majelis Ulama Indonesia harus dilibatkan. Alasannya, penyertaan MUI dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat yang selama ini antipati dengan pemerintahan.
Selama masa pembahasan itu, anggota DPR, Tb Ace Hasan Syadzily, pun menegaskan, kewenangan MUI tidak akan dipangkas dalam UU Jaminan Produk Halal. MUI masih berwenang mengeluarkan fatwa halal atau haram suatu produk.
"MUI masih terlibat dalam penentuan fatwa halal atau tidak sebuah produk," kata anggota Komisi VIII dari Fraksi Golkar, saat itu.
DPR dan pemerintah pun melanjutkan pembahasan RUU ini usai masa reses, pada Mei 2014. "Beruntung", setelah proses yang panjang, pada penghujung masa jabatannya, anggota DPR periode 2009-2014 mampu menyelesaikan pembahasan RUU itu dan mengesahkannya.
Pada 17 Oktober 2014, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, Amir Syamsudin, pun telah mengundangkannya sebagai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.
Dalam UU itu disebutkan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Untuk itu, pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan jaminan produk halal.
http://sorot.news.viva.co.id/news/read/735252-produk-delapan-tahun
0 comments:
Posting Komentar