Berbagai bentuk kekerasan terhadap anak terus bermunculan. Bahkan, tren kasus kekerasan terhadap anak pun terus meningkat setiap tahunnya.
Fenomena ini diyakini tak lepas dari rapuhnya ketahanan keluarga dan kemajuan zaman serta teknologi yang tidak terbendung. Bahkan, yang membuat miris, kekerasan terhadap anak kini cenderung muncul dari keluarganya sendiri. Sehingga, ketahanan keluarga pun kini menjadi sangat penting.
Di hadapan para tenaga penyuluh keluarga berencana (PKB) se-Kota Bandung, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ledia Hanifa Amaliah mengaku prihatin dengan banyaknya kasus kekerasan yang mendera anakanak Indonesia, termasuk anakanak di Kota Bandung dan Cimahi yang menjadi daerah pemilihan (dapil)-nya.
Menurutnya, keluarga masih banyak yang belum memahami hak anak. Kondisi lingkungan rumah pun turut memengaruhi munculnya tindak kekerasan ini. Tindak kekerasan ini akan berpengaruh negatif pada perkembangan otak sang anak. Anak akan rentan mengalami stres yang tinggi, hingga cenderung melakukan perilaku menyimpang, seperti mengonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang.
“Seorang anak yang menjadi korban kekerasan juga akan kehilangan hak-hak hidupnya sebagai seorang anak serta tidak bisa tumbuh dan berkembang layaknya seorang anak normal lainnya,” tutur Ledia dalam sosialisasi Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 di Park Hotel, Jalan PHH Mustofa, Kota Bandung, Selasa (29/12) Oleh karena itu, dibutuhkan peran serta dari semua pihak untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak.
Negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Ledia melanjutkan, mes ki - pun UU Nomor 35 Tahun 2014 telah diberlakukan sejak saat di - sah kan, namun implementasinya di lapangan masih sangat minim.
Bahkan, tidak sedikit instansi yang berkaitan dengan perlindungan anak belum mengetahuinya. “Sosialisasinya masih sangat minim. Padahal, sosialisasi itu penting. Nilai anak di dalam keluarga pun harus terus disosialisasikan, bahwa di dalam elemen masyarakat, anak jangan sampai menjadi beban,” ujarnya.
Lebih jauh Ledia mengatakan, sosialisasi ini pun menjadi langkah awal untuk mengatur perlindungan anak. Diperlukan aturan yang lebih spesifik terkait perlindungan anak, seperti pola pengasuhan terhadap anak di dalam keluarga atau anak yang menjadi korban perceraian kedua orang tuanya.
Agung bakti sarasa/ http://www.koran-sindo.com/news.php?r=6&n=81&date=2015-12-31
Fenomena ini diyakini tak lepas dari rapuhnya ketahanan keluarga dan kemajuan zaman serta teknologi yang tidak terbendung. Bahkan, yang membuat miris, kekerasan terhadap anak kini cenderung muncul dari keluarganya sendiri. Sehingga, ketahanan keluarga pun kini menjadi sangat penting.
Di hadapan para tenaga penyuluh keluarga berencana (PKB) se-Kota Bandung, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ledia Hanifa Amaliah mengaku prihatin dengan banyaknya kasus kekerasan yang mendera anakanak Indonesia, termasuk anakanak di Kota Bandung dan Cimahi yang menjadi daerah pemilihan (dapil)-nya.
Menurutnya, keluarga masih banyak yang belum memahami hak anak. Kondisi lingkungan rumah pun turut memengaruhi munculnya tindak kekerasan ini. Tindak kekerasan ini akan berpengaruh negatif pada perkembangan otak sang anak. Anak akan rentan mengalami stres yang tinggi, hingga cenderung melakukan perilaku menyimpang, seperti mengonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang.
“Seorang anak yang menjadi korban kekerasan juga akan kehilangan hak-hak hidupnya sebagai seorang anak serta tidak bisa tumbuh dan berkembang layaknya seorang anak normal lainnya,” tutur Ledia dalam sosialisasi Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 di Park Hotel, Jalan PHH Mustofa, Kota Bandung, Selasa (29/12) Oleh karena itu, dibutuhkan peran serta dari semua pihak untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak.
Negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Ledia melanjutkan, mes ki - pun UU Nomor 35 Tahun 2014 telah diberlakukan sejak saat di - sah kan, namun implementasinya di lapangan masih sangat minim.
Bahkan, tidak sedikit instansi yang berkaitan dengan perlindungan anak belum mengetahuinya. “Sosialisasinya masih sangat minim. Padahal, sosialisasi itu penting. Nilai anak di dalam keluarga pun harus terus disosialisasikan, bahwa di dalam elemen masyarakat, anak jangan sampai menjadi beban,” ujarnya.
Lebih jauh Ledia mengatakan, sosialisasi ini pun menjadi langkah awal untuk mengatur perlindungan anak. Diperlukan aturan yang lebih spesifik terkait perlindungan anak, seperti pola pengasuhan terhadap anak di dalam keluarga atau anak yang menjadi korban perceraian kedua orang tuanya.
Agung bakti sarasa/ http://www.koran-sindo.com/news.php?r=6&n=81&date=2015-12-31
0 comments:
Posting Komentar