Anggota Komisi X DPR, Ledia Hanifah Amaliah, menilai ada banyak masalah yang timbul atas kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, terkait sekolah 8 jam selama 5 hari.
"Ketika sekolah satu hari 8 jam, istirahatnya cuma setengah jam. Ini anak-anak, tidak sama dengan orang dewasa," kata Ledia di Warung Daun, Jakarta, Sabtu, 17 Juni 2017.
Adapun kebijakan tersebut dikatakan akan lebih banyak bermain daripada belajar, ia mengatakan guru harus siap dengan pembelajaran yang mengasyikkan. Apalagi, anak-anak hanya konsentrasi belajar 3 sampai 4 jam.
"Berapa guru kita yang sudah tersertifikasi? Lalu kalau kerja sama dengan madrasah, anak ke madrasah memang dekat? Siapa yang mengontrol jalan ke madrasah? Ada hal teknis yang perlu dipikirkan," ujar Ledia.
Menurutnya, kebijakan menteri jangan bersifat Jawa Sentris. Contohnya di Jawa Barat saja terdapat perkampungan yang sore harinya berisiko untuk anak-anak. Sehingga, keamanan anak-anak dalam perjalanan pulang sore hari juga harus dipikirkan.
"Belum lagi sosio kultural yang lain. Keluarga di Indonesia perlu bantuan anak-anak. Buka warung. Ibu jaga warung saat anak sekolah. Bukan mereka dipekerjakan, tapi mereka bagian usaha keluarga," kata Ledia.
Bukan Full Day
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud, Ari Santoso, menjelaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) soal sekolah 8 jam dalam 5 hari sama sekali tak ada kata-kata full day school.
"Tahun lalu sangat beda. Yang dimasalahkan full day. Kata-kata full day seakan anak-anak disandera di sekolah. Padahal di Permen ini tak ada satu pun kata full day, adanya penguatan pendidikan karakter," kata Ari di tempat yang sama.
Ia meyakini sektor manapun pasti akan mendukung program ini. Sebab, dengan adanya penguatan pendidikan karakter maka tak ada satu pun menambah jam pelajaran.
"Anak-anak kasihan. Pemerhati pendidikan katakan kurang senang-senangnya. Tapi saya yakin niat Kemendikbud bukan menambah di intra kurikulernya, tapi menambah anak-anak bermain, bukan di jam pelajaran," kata Ari.
Ari menegaskan kebijakan ini sama sekali bukan menambah jam pelajaran. Kegiatan ini juga tak dipaksakan harus dilaksanakan di sekolah. Sehingga boleh diselenggarakan di luar dan bekerja sama dengan pihak terkait.
"Misalnya dengan Madrasah Diniyah. Tidak menutup kerja sama dengan yang lain. Jangan seakan 8 jam di sekolah. Full day banyak kontradiktif. Itu yang perlu kami tajamkan. Ini tak menambah jadi full day school," kata Ari. (ase)
https://politik.news.viva.co.id/berita/politik/927170-ini-potensi-masalah-dari-kebijakan-8-jam-sekolah
"Ketika sekolah satu hari 8 jam, istirahatnya cuma setengah jam. Ini anak-anak, tidak sama dengan orang dewasa," kata Ledia di Warung Daun, Jakarta, Sabtu, 17 Juni 2017.
Adapun kebijakan tersebut dikatakan akan lebih banyak bermain daripada belajar, ia mengatakan guru harus siap dengan pembelajaran yang mengasyikkan. Apalagi, anak-anak hanya konsentrasi belajar 3 sampai 4 jam.
"Berapa guru kita yang sudah tersertifikasi? Lalu kalau kerja sama dengan madrasah, anak ke madrasah memang dekat? Siapa yang mengontrol jalan ke madrasah? Ada hal teknis yang perlu dipikirkan," ujar Ledia.
Menurutnya, kebijakan menteri jangan bersifat Jawa Sentris. Contohnya di Jawa Barat saja terdapat perkampungan yang sore harinya berisiko untuk anak-anak. Sehingga, keamanan anak-anak dalam perjalanan pulang sore hari juga harus dipikirkan.
"Belum lagi sosio kultural yang lain. Keluarga di Indonesia perlu bantuan anak-anak. Buka warung. Ibu jaga warung saat anak sekolah. Bukan mereka dipekerjakan, tapi mereka bagian usaha keluarga," kata Ledia.
Bukan Full Day
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud, Ari Santoso, menjelaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) soal sekolah 8 jam dalam 5 hari sama sekali tak ada kata-kata full day school.
"Tahun lalu sangat beda. Yang dimasalahkan full day. Kata-kata full day seakan anak-anak disandera di sekolah. Padahal di Permen ini tak ada satu pun kata full day, adanya penguatan pendidikan karakter," kata Ari di tempat yang sama.
Ia meyakini sektor manapun pasti akan mendukung program ini. Sebab, dengan adanya penguatan pendidikan karakter maka tak ada satu pun menambah jam pelajaran.
"Anak-anak kasihan. Pemerhati pendidikan katakan kurang senang-senangnya. Tapi saya yakin niat Kemendikbud bukan menambah di intra kurikulernya, tapi menambah anak-anak bermain, bukan di jam pelajaran," kata Ari.
Ari menegaskan kebijakan ini sama sekali bukan menambah jam pelajaran. Kegiatan ini juga tak dipaksakan harus dilaksanakan di sekolah. Sehingga boleh diselenggarakan di luar dan bekerja sama dengan pihak terkait.
"Misalnya dengan Madrasah Diniyah. Tidak menutup kerja sama dengan yang lain. Jangan seakan 8 jam di sekolah. Full day banyak kontradiktif. Itu yang perlu kami tajamkan. Ini tak menambah jadi full day school," kata Ari. (ase)
https://politik.news.viva.co.id/berita/politik/927170-ini-potensi-masalah-dari-kebijakan-8-jam-sekolah
0 comments:
Posting Komentar