JAKARTA, JPNN.com - Proyek renovasi Rumah Jabatan Anggota (RJA) DPR kembali dipersoalkan. Proyek yang menelan dana hingga lebih dari Rp300 miliar dan dilakukan sejak tahun 2007 itu semakin mengundang kecurigaan lantaran hingga kini belum juga selesai.
Koordinator Indonesia Budget Center (IBC), Roy Salam, menilai tertundanya penyelesaian peoyek renovasi rumah jabatan di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan itu jelas berimplikasi pada keuangan negara. "Karena negara juga yang harus menanggung buaya untuk sewa rumah bagi anggota DPR. Setiap anggota mendapat anggaran Rp 15 juta setiap bulan untuk sewa rumah. Total seluruhnya mencapai delapan miliar rupiah," ujar Roy di Jakarta, Senin (25/1).
Roy menegaskan, seharusnya proyek itu sudah selesai dan bisa langsung ditempati oleh anggota DPR periode 2009-2014 yang dilantik pada 1 Oktober 2009 silam. Namun Roy justru mengaku mendapat temuan yang layak dicurigai.
Diungkapkannya bahwa bongkaran bekas rumah jabatan lama dihargai Rp 3,5 juta untuk setiap unit rumah. Sementara jumlah rumah yang direnovasi 495 unit. "Saya mendengar bahwa hasil penjualan dari bongkaran itu tidak jelas kemana. Pihak-pihak yang terlibat tidak mau mengakui, padahal dari informasinya setiap bongkaran rumah itu dihargai Rp3,5 juta per rumah. Jadi kalikan saja dengan jumlah rumah yang direnovasi itu,” cetusnya.
Suara miring tentang renovasi rumah jabatan anggota DPR itu juga terlontar dari Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang. Menurutnya, pihak yang harus bersifat terbuka dalam proyek itu adalah Sekretariat Jendral DPR RI. Sebastian menilai pergantian pimpinan DPR tidak berpengaruh pada pola kerja kesekjenan.
Karenanya Sebastian mensinyalir bahwa pimpinan DPR cenderung membiarkan hal tersebut. “Jangan-jangan memang betul ada permainan antara pimpinan DPR dengan pihak sekjen sehingga semua hal yang sudah diberitakan itu tidak ada tindak lanjutnya. Ketua DPR harus berani mengambil tindakan untuk mengganti staf di sekjen seluruhnya jika memang mau tegas memberantas korupsi di lingkungan sekjen,” ucapnya.
Soal dugaan korupsi pada proyek renovasi itu Sebastian memang tak menafikkannya. Namun menurutnya, hal itu perlu diselidiki lebih lanjut. Hanya saja Sebastian juga mengatakan bahwa proses adanya pola permainan yang terorganisir dengan rapi antara oknum di Sekretariat Jendral DPR dengan dan rekanan. "Sudah marak diberitakan, tetapi tidak ada tindak lanjut. Ini hanya bisa terjadi jika semuanya diorganisir dengan rapi,” ulasnya.
Sedangkan anggota Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR, Ledia Hanifa yang dihubungi terpisah mengatakan, pihaknya akan menanyakan proyek renovasi RJA DPR itu dalam rapat BURT.
Salah satu yang akan ditanyakan Hanifa adalah soal kabar tentang harga bekas bongkaran rumah yang dihargai Rp 3,5 juta per unit."Kalau betul itu terjadi maka harus ada sanksi terhadap pihak-pihak yang telah menjual asset negara itu," tandasnya.
Ledia mengakui, masalah yang muncul dalam proyel-proyek di DPR tak terlepas dari belum adanya rencana steategis (resntra) yang didusun DPR. Hal ini jelas berbeda dengan lembaga kementrian.
“Persoalannya adalah karena DPR tidak punya renstra dan BURT kini sedang menyusunnya dimana dalam draft tersebut nantinya terbagi menjadi fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Jadi dana yang akan digunakan sekjen itu nantinya hanya untuk anggaran pendukung," tukasnya.(aj/ara/jpnn)
0 comments:
Posting Komentar