Meskipun sudah ada
Undang-Undang (UU) tentang Pengelolaan Keuangan Haji tetapi, tetap harus ada
payung hukum yang mengatur terkait dana abadi umat, visa ibadah haji, dan
ketentuan bahwa uang antara calon jamaah haji yang mengantri 10 tahun atau 23
tahun, harus bonafit dan tidak boleh dihitung sama, karena waktunya berbeda.
Demikian disampaikan
Wakil Ketua Komisi VIII FPKS DPR RI Ledia Hanifa Amaliyah kepada hidayatullah.com,
di sela-sela rapat dengan Dirjend Kemenag bersama perwakilan Bank Syariah di
Gedung Nusantara II DPR Jakarta, Rabu (23/09/2015).
Ledia mengatakan
pertemuan itu digelar dalam rangka untuk membahas revisi amandemen
Undang-Undang tentang Penyelengaraaan Haji dan Umroh (UU PHU) dalam sisi aspek
keuangan.
“Buat yang 23 tahun
mungkin mereka sudah tidak melunasi lagi, nggak harus bayar sisanya, tetapi
yang 10 tahun mungkin masih harus bayar. Nah, yang kayak gitu itu harus diatur
dalam UU,” ujarnya.
Karena itu, kata
Ledia, perlu adanya pengkajian terhadap bank-bank yang menerima setoran dana
tersebut. Dan menurutnya, bank-bank itu hanya suporting, sementara handlingnya
ada di Kemenag.
“Dan ternyata
siskohatnya itu nggak nge-link juga ke Kemenag, pihak penerbangan, pihak
pemondokan dan sebagainya sama juga,” cetusnya.
Ledia pun
mempertanyakan kemana nge-linknya siskohat tersebut jika bukan ke Kemenag. Ia
mengungkapkan bahwa saat terjadinya keterlambatan visa justru menurutnya itu
lebih terlihat diakibatkan faktor manual bukan karena visa haji yang berbentuk
elektronik haji (e-Hajj) yang sudah bagus dan canggih itu.*
0 comments:
Posting Komentar