REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak wacana menyeruak terkait maraknya kasus pelecehan seksual yang sedang terjadi baru-baru ini. Wakil Ketua Komisi 8 DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah mengingatkan pemerintah untuk memerhatikan nasib anak korban kejahatan seksual.
Ledia mengatakan upaya memperjuangkan pemberatan hukuman dan pengenaan pasal berlapis pada pelaku kejahatan seksual pada anak memang baik untuk diberikan sebagai salah satu bentuk penguatan pemberian efek jera kepada pelaku. Namun di saat yang bersamaan pemerintah tak boleh abai pada hak korban kejahatan yang sudah menjadi amanah Undang-Undang namun belum terlaksana.
Dia mengatakan korban kejahatan seksual ini sudah mengalami kekerasan, harus pula menghadapi potensi mengalami trauma berkepanjangan. "Karenanya mereka tak bisa menunggu pelaku kejahatan 'dihukum', tetapi harus sesegera mungkin diberi pengobatan dan atau rehabilitasi baik secara fisik, psikis dan sosial juga pendampingan psikososial sejak awal diketahuinya kasus terjadi hingga pemulihan,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (17/5).
Sayangnya menurut aleg FPKS ini hak-hak korban belum terpenuhi secara maksimal hingga saat ini. Terutama dalam hal mendapat pendampingan dalam pemulihan dan persoalan restitusi.
“Sarana, prasarana untuk menunjang proses rehabilitasi masih terbatas. Begitu pula tenaga pendamping psikososial bahkan sangat sedikit," kata dia.
Anak korban kejahatan seksual ini dalam skala nasional jumlahnya ribuan dan membutuhkan rehabilitasi dan pendampingan sebagaimana diamanahkan dalam pasal 59A ayat 1 Undang-undang no 35 tahun 2014. Dalam memperbaiki soal rehabilitasi dan pendampingan ini menurut Ledia semestinya juga menjadi prioritas pemerintah untuk menunjukkan keberpihakan pada hak korban./ http://www.republika.co.id/berita/dpr-ri/berita-dpr-ri/16/05/17/o7b538368-sarana-rehabilitasi-korban-pelecehan-seksual-perlu-perhatian
Ledia mengatakan upaya memperjuangkan pemberatan hukuman dan pengenaan pasal berlapis pada pelaku kejahatan seksual pada anak memang baik untuk diberikan sebagai salah satu bentuk penguatan pemberian efek jera kepada pelaku. Namun di saat yang bersamaan pemerintah tak boleh abai pada hak korban kejahatan yang sudah menjadi amanah Undang-Undang namun belum terlaksana.
Dia mengatakan korban kejahatan seksual ini sudah mengalami kekerasan, harus pula menghadapi potensi mengalami trauma berkepanjangan. "Karenanya mereka tak bisa menunggu pelaku kejahatan 'dihukum', tetapi harus sesegera mungkin diberi pengobatan dan atau rehabilitasi baik secara fisik, psikis dan sosial juga pendampingan psikososial sejak awal diketahuinya kasus terjadi hingga pemulihan,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (17/5).
Sayangnya menurut aleg FPKS ini hak-hak korban belum terpenuhi secara maksimal hingga saat ini. Terutama dalam hal mendapat pendampingan dalam pemulihan dan persoalan restitusi.
“Sarana, prasarana untuk menunjang proses rehabilitasi masih terbatas. Begitu pula tenaga pendamping psikososial bahkan sangat sedikit," kata dia.
Anak korban kejahatan seksual ini dalam skala nasional jumlahnya ribuan dan membutuhkan rehabilitasi dan pendampingan sebagaimana diamanahkan dalam pasal 59A ayat 1 Undang-undang no 35 tahun 2014. Dalam memperbaiki soal rehabilitasi dan pendampingan ini menurut Ledia semestinya juga menjadi prioritas pemerintah untuk menunjukkan keberpihakan pada hak korban./ http://www.republika.co.id/berita/dpr-ri/berita-dpr-ri/16/05/17/o7b538368-sarana-rehabilitasi-korban-pelecehan-seksual-perlu-perhatian
0 comments:
Posting Komentar