Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengingatkan pemerintah untuk tidak menomorduakan atau mengabaikan para siswa penyandang disabilitas. Apalagi berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas para penyandang disabilitas memiliki hak pendidikan yang sama dengan para siswa non-penyandang disabilitas.
“Saya belum melihat terakomodasinya amanat UU Tentang Penyandang Disabilitas ini dalam program-program yang disampaikan Kementerian Pendidikan. Padahal para penyandang disabilitas memiliki hak yang sama terkait pendidikan yang ini berarti termasuk hak untuk mendapat akses pendidikan, akomodasi yang layak, bahan ajar yang sesuai kebutuhan serta guru atau pendamping,” kata Ledia saat Rapat Kerja dengan Mendikbud di Ruang Komisi VIII DPR, Jakarta, Selasa (16/1).
Anggota Fraksi PKS ini mencontohkan betapa akan sulitnya menerapkan program pendidikan inklusi tanpa persiapan sarana dan tenaga pendidikan secara memadai. Tidak adanya keseriusan dan percepatan penyiapan tenaga pendidik bagi para penyandang disabilitas akan menyulitkan program inklusi karena para guru akan pensiun bersama-sama, baik yang ada di SLB maupun di sekolah inklusi yang sudah ada.
Begitu pula soal pengembangan bahasa isyarat yang nampak lambat akan menghambat hak pendidikan para penyandang tuna rungu dan wicara.
“Bahkan, buku ajar berhuruf Braille pun saya temukan dibuat oleh badan milik kemensos, padahal sudah seharusnya menjadi bagian yang disiapkan oleh Kemdikbud sendiri,” lanjutnya
Politikus asal dapil Kota Bandung dan Cimahi ini juga mempertanyakan kebijakan pemerintah terkait kurikulum bagi peserta didik penyandang disabilitas yang terkesan mendowngrade kemampuan para penyandang disabilitas secara umum.
Menurutnya, Peraturan Kemendikbud no 157 tahun 2014 mengklasifikasi kurikulum SMP bagi siswa tuna rungu sama dengan anak SD kelas 1-3. Sedangkan bagi siswa SMA sama dengan Kelas 4 -6 SD. Ini sungguh tidak adil, bagaimana mereka digeneralisasi untuk menerima saja akses pendidikan yang lebih rendah dari teman selevel pendidikan yang non-disabilitas.
“Padahal kita sudah berjuang untuk memindahkan mindset pelayanan negara kepada para penyandang disabilitas ini dari charity base ke right base, pendekatan pemenuhan hak kepada mereka,” tegas Ledia.
https://www.jpnn.com/news/jangan-abai-kepada-siswa-penyandang-disabilitas
“Saya belum melihat terakomodasinya amanat UU Tentang Penyandang Disabilitas ini dalam program-program yang disampaikan Kementerian Pendidikan. Padahal para penyandang disabilitas memiliki hak yang sama terkait pendidikan yang ini berarti termasuk hak untuk mendapat akses pendidikan, akomodasi yang layak, bahan ajar yang sesuai kebutuhan serta guru atau pendamping,” kata Ledia saat Rapat Kerja dengan Mendikbud di Ruang Komisi VIII DPR, Jakarta, Selasa (16/1).
Anggota Fraksi PKS ini mencontohkan betapa akan sulitnya menerapkan program pendidikan inklusi tanpa persiapan sarana dan tenaga pendidikan secara memadai. Tidak adanya keseriusan dan percepatan penyiapan tenaga pendidik bagi para penyandang disabilitas akan menyulitkan program inklusi karena para guru akan pensiun bersama-sama, baik yang ada di SLB maupun di sekolah inklusi yang sudah ada.
Begitu pula soal pengembangan bahasa isyarat yang nampak lambat akan menghambat hak pendidikan para penyandang tuna rungu dan wicara.
“Bahkan, buku ajar berhuruf Braille pun saya temukan dibuat oleh badan milik kemensos, padahal sudah seharusnya menjadi bagian yang disiapkan oleh Kemdikbud sendiri,” lanjutnya
Politikus asal dapil Kota Bandung dan Cimahi ini juga mempertanyakan kebijakan pemerintah terkait kurikulum bagi peserta didik penyandang disabilitas yang terkesan mendowngrade kemampuan para penyandang disabilitas secara umum.
Menurutnya, Peraturan Kemendikbud no 157 tahun 2014 mengklasifikasi kurikulum SMP bagi siswa tuna rungu sama dengan anak SD kelas 1-3. Sedangkan bagi siswa SMA sama dengan Kelas 4 -6 SD. Ini sungguh tidak adil, bagaimana mereka digeneralisasi untuk menerima saja akses pendidikan yang lebih rendah dari teman selevel pendidikan yang non-disabilitas.
“Padahal kita sudah berjuang untuk memindahkan mindset pelayanan negara kepada para penyandang disabilitas ini dari charity base ke right base, pendekatan pemenuhan hak kepada mereka,” tegas Ledia.
https://www.jpnn.com/news/jangan-abai-kepada-siswa-penyandang-disabilitas
0 comments:
Posting Komentar