JAKARTA, KOMPAS—Harapan untuk
mengesahkan Rancangan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (RUU Sisnas Iptek) sebelum Pemilu April 2019 sulit
diwujudkan. RUU itu berpeluang disahkan pada akhir 2019, namun itu sulit
mengingat Dewan Perwakilan Rakyat baru yang terbentuk pada Oktober
masih fokus menyusun aturan dan kepengurusan baru.
RUU Sisnas Iptek diajukan pemerintah ke
DPR pada tahun 2017. Salah satu hambatan pembahasan RUU tersebut adalah
belum satunya suara pemerintah sebagai pengusul. Hal itu mengakibatkan
banyak daftar inventarisasi masalah dalam RUU harus diperbaiki.
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai
Keadilan Sejahtera Ledia Hanifa Amaliah dalam diskusi Menuju UU Sisnas
Iptek yang Mendukung Kebijakan Berbasis Bukti, di Jakarta, Rabu
(12/12/2018) mengatakan, pembahasan RUU Sisnas Iptek di DPR hingga kini
masih seputar soal pendanaan riset. Isu kelembagaan riset belum
tersentuh.
“DPR sepakat ada dana abadi riset,”
katanya. Namun, pertanggungjawaban tidak bisa memakai mekanisme
penganggaran APBN yang menggunakan logika proyek. Banyak riset harus
dilakukan bertahun-tahun dan hasilnya belum tentu sesuai rencana awal.
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
(AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro menambahkan penyaluran dana riset
ke peneliti seharusnya berbentuk hibah. Cara tersebut akan memberi
keleluasaan bagi peneliti hingga hasil risetnya bisa lebih optimal.
Pola itu juga membuat peneliti tak perlu
khawatir akan terjerat persoalan hukum jika hasil risetnya tidak sesuai
perkiraan awal. Dalam riset, hasil yang berbeda tetap bernilai karena
memberi pengetahuan baru.
“Jika ditemukan kecurangan penggunaan dana riset, peneliti cukup di-blacklist
(masuk daftar hitam) hingga ke depan dia akan kesulitan mendanai
risetnya,” katanya. Namun penilaian hasil itu harus diberikan oleh
peneliti lain dalam bidang ilmu yang sama.
Fokus
Saat ini, anggaran riset Indonesia baru sebesar 0,25 persen produk domestik bruto (PDB). Idealnya, anggaran riset yang mampu mendorong inovasi suatu negara sebesar 2 persen PDB. Dari jumlah yang kecil itu, hanya 30-40 persennya saja yang digunakan riset, sebagian besar justru untuk gaji dan operasional.
Saat ini, anggaran riset Indonesia baru sebesar 0,25 persen produk domestik bruto (PDB). Idealnya, anggaran riset yang mampu mendorong inovasi suatu negara sebesar 2 persen PDB. Dari jumlah yang kecil itu, hanya 30-40 persennya saja yang digunakan riset, sebagian besar justru untuk gaji dan operasional.
“Sebanyak 84 persen anggaran riset
bersumber dari pemerintah,” kata Direktur Jenderal Penguatan Riset dan
Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad
Dimyati. Kondisi itu berkebalikan dengan negara-negara yang memiliki
sistem riset dan inovasi yang baik yang sebagian besar anggarannya
ditopang swasta.
Kecilnya anggaran riset membuat
penggunaannya harus fokus. Karena itu, Ledia berharap riset yang didanai
adalah riset yang mengacu pada Rencana Induk Riset Nasional (RIRN)
2017-2045. Mekanisme itu bisa menjaga kesepakatan bersama tentang arah
riset nasional yang sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun
2018.
“Kalau sudah ada RIRN, setiap kementerian dan lembaga harus menurunkan egonya dan mau saling bekerja sama,” katanya.
Konsistensi arah riset itu menjadi
tantangan besar Indonesia. Selama ini, arah riset itu berubah saat
pemerintahan berganti. “Posisi RIRN itu seharusnya bisa diperkuat dalam
RUU Sisnas Iptek,” kata Deputi Bidang Pembangunan manusia, Masyarakat
dan Kebudayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas,
Subandi.
Sementara itu, meski belum dibahas DPR,
pemerintah ingin memperkuat lembaga riset yang ada daripada membentuk
lembaga baru yang belum tentu efisien dan mampu menyelesaikan persoalan
yang ada.
Masalah lain yang perlu diperhatikan
adalah penyediaan dan regenerasi peneliti. Saat ini, rasio peneliti
Indonesia baru 1.071 orang per sejuta penduduk. Pada 2045, jumlah itu
diharap naik jadi 6.000 orang per sejuta penduduk. Itu adalah persoalan
besar mengingat terbatasnya jumlah universitas di Indonesia yang punya
budaya riset baik.
“Budaya peneliti perlu dibangun sedini
mungkin hingga tercipta ekosistem riset,” kata Kepala Bido Kerja Sama
Hukum dan Humas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nur Tri Aries
dalam “Millenial Talks: Sains untuk Daya Saing Bangsa”.
Namun, upaya mendorong banyak peneliti
saja tidak cukup jika peneliti tidak didukung dengan sarana riset
memadai. Persoalan ini masih jadi keluhan banyak peneliti, seperti yang
dialami penelti Pusat Oseanografi LIPI dan peraih LIPI Young Scientist
Award 2018 Intan Suci Nurhati.
“Pemerintah perlu membenahi infrastruktur riset hingga kualitas riset meningkat,” katanya. (MELATI MEWANGI)
Pembuat Artikel: M Zaid Wahyudi
0 comments:
Posting Komentar