Lola, TKI dan Benang Kusut

Written By Ledia Hanifa on Rabu, 02 Oktober 2013 | 3:26:00 AM

Sudah nonton “Suatu Pagi di Victoria Park”nya Lola Amaria?  saya belum. Hanya melihat cuplikannya saja di Kick Andi. Waktu ditanya untuk apa membuat film ini, dengan tegas Lola menjawab bahwa ia ingin memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa tidak semua TKI “menderita atau disiksa”. 


                Menurut Lola persoalan besar tenaga kerja kita justru ada pada diri TKI yang bersangkutan. Soal ketidaksiapan mental menghadapi kehidupan di luar negeri misalnya, serta perilaku hidup yang konsumtif digambarkan menjadi penyebab utama. Hmmm, memang kalau dicamkan dan dilihat dari beberapa fenomena kasus TKI –terutama di Hongkong- masuk akal juga penjelasannya, tapi sesungguhnya hal itu menjadi kurang lengkap jika persoalannya menyangkut keseluruhan nasib TKI kita.
                Jika kita hanya membicarakan Hongkong, keadaan para tenaga kerja Indonesia memang jadi sangat berbeda dengan di negara lain. Soal kebijakan negara saja misalnya, pemerintah Hongkong memberikan hari libur bagi pekerja (termasuk pekerja rumah tangga) pada setiap akhir pekan. Sehingga memungkinkanlah para TKI untuk bisa berkumpul di Victoria Park.
                Mereka bisa melakukan aktifitas apa saja disana. Mau yang positif, bahkan juga yang negatif. Amat beralasan bila inti masalah bisa diukur dari adakah kesiapan para TKI sendiri untuk beradaptasi dengan pola hidup yang berbeda dengan pola di negeri sendiri dan memilih yang terbaik.
                Mereka yang berhasil secara umum pada akhirnya berujung pada  orang-orang yang punya bekal kepribadian yang cukup, punya motivasi untuk sukses dan punya perencanaan masa depan yang baik. Kira-kira begitulah menurut salah seorang TKI pemenang Migrant Worker Award 2010. Dan ternyata soal ini bukan cuma sang ibu ini yang menyatakan demikuan. Banyak TKI atau mantan TKI lain yang juga mengatakan itu meski mereka bekerja di berbagai negara yang berbeda.

Masalah Bermula Sejak Rekrutmen
                Tetapi sayangnya nasib sebagian besar TKI kita yang lain justru ditentukan saat dimulainya rekrutmen awal di tanah air. Para TKI kita kebanyakn tidak mendapat informasi yang cukup tentang pekerjaan yang akan mereka lakukan. Mereka juga tidak mendapat informasi tentang budaya, bahasa, apalagi hukum-hukum di negara tujuan.
                Parahnya banyak juga diantara para calon TKI ini yang tidak menyadari bahwa identitas mereka bahkan dipalsukan. Mulai dari soal umur, asal wilayah, hingga status kesehatan dan skill yang dimiliki.
                Belum lagi kalau mereka berhadapan dengan para PPTKIS ‘nakal’. Maka perjanjian kerja yang semestinya dipaparkan tidak pernah mereka tahu apa isinya. Bahkan berapa besaran gaji yang akan diterima pun mereka tidak tahu. Paling-paling hanya “katanya-katanya”.
                Begitu pula mereka juga tidak tahu berapa jumlah pemotongan gaji yang akan dikenakan, berapa lama akan dipotong dan untuk apa sebenarnya gaji mereka  itu dipotong. Berbagai informasi menyebutkan, TKI di Hongkong ada yang mengalami pemotongan gaji selama 9 bulan, di Malaysia 6 bulan, Singapura 7 bulan. Mereka juga tidak tahu jika ada masalah harus mengadu kemana.
                Kemudian, masalah penempatan para TKI ini juga bukan tanpa masalah. Meskipun dalam UU 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menyebutkan bahwa Pemerintah Indonesia tidak boleh mengirimkan tenaga kerja ke negara yang tidak memiliki perjanjian bilateral dengan Pemerintah Indonesia atau ke negara yang tidak punya undang-undang yang melindungi tenaga kerja asing, tetap saja pengiriman berlangsung dengan sepengetahuan pemerintah.
                Begitulah, Pemerintah Indonesia memang belum memiliki Bilateral Agreement dengan pemerintah manapun. Yang ada hanyalah kerjasama teknis dalam bentuk MoU dengan negara tujuan. Bahkan terhadap negara-negara yang perlindungan terhadap tenaga kerjanya relatif baik sekalipun, seperti Singapura, kita juga tidak punya perjanjian antar pemerintah.
                Belum lagi jika membicarakan soal keterampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja kita. Untuk tenaga kerja formal seperti pekerja pabrik, perawat, pendamping orang tua tentu memiliki kualifikasi tersendiri. Sedangkan pembantu rumah tangga tidak ada kualifikasi yang jelas. Meskipun secara umum orang tahu bahwa pekerjaannya seputar membantu pekerjaan-pekerjaan di rumah tangga. Memasak, mencuci, beres-beres, menyeterika dll.
                Namun, urusan pekerja formal pun masih banyak hambatannya. Para perawat contohnya. Perawat Indonesia sampai saat ini tidak memiliki sertifikasi yang diakui secara internasional atau yang dikenal dengan nama lain Registered Nurse. Registered Nurse ini dapat dikeluarkan oleh Konsil keperawatan di Negara masing-masing, sementara konsil ini dibentuk oleh Undang-undang. Sayangnya sampai sekarang kita belum memiliki Undang-undang Keperawatan. Dan inilah yang kemudian menyebabkan banyak perawat kita yang sesungguhnya telah memiliki kompetensi setingkat registered nurse harus di down grade menjadi assistant nurse dan care givers.
                Bahkan mereka yang merupakan pekerja formal ini pun bisa saja mengalami pengalihan pekerjaan dan atau pemberi kerja alias majikan di tengah jalan.  Seorang mantan TKI Formal menceritakan bahwa semula dirinya disebutkan bekerja di sebuah negara di kawasan Timur Tengah sebagai penterjemah. Ini sesuai dengan keahliannya di bidang bahasa. Tetapi ternyata ketika tiba di negara tujuan pekerjaannya beralih menjadi supir.
                Bayangkan, jika TKI yang bekerja formal saja bisa mengalami masalah, apalagi TKI non formal seperti pembantu rumah tangga yang umumnya tak memiliki keahlian khusus, buta informasi, dan memiliki pendidikan rendah. Tak heran jika banyak kasus pemindahan majikan terjadi termasuk yang dialami seorang TKI yang dalam 7 bulan masa kerja berpindah ke 7 majikan.

Masalah Berlanjut di Tanah Air
                Cerita tentang kepulangan TKI juga tak kalah menyedihkan. Mereka yang bermasalah, menjadi korban trafficking atau overstayer juga tidak mudah untuk kembali ke tanah air.
                Selain belum tentu mereka mendapat exit permit dari pemerintah setempat, kalaupun sampai dengan selamat di negeri sendiri, belum tentu selamat” saat berada di terminal kedatangan di tanah air.
                Penukaran uang dengan rate yang dipaksakan amat rendah, transportasi ke daerah asal yang sangat mahal dan lama, pemaksaan untuk membayar uang makan di tempat singgah selama perjalanan yang tidak masuk akal, sampai perampasan barang bawaan di tengah jalan adalah cerita yang sangat banyak didengar dan terjadi berulang-ulang.
                Begitulah derita tenaga kerja kita. Dan penyelesaiannya juga tidak mudah, sehingga dapat diumpamanakan bak mengurai benang kusut.

                Semoga dengan disegerakannya revisi UU 39 tahun 2004 di DPR dan kemauan pemerintah untuk melakukan perbaikan sistem yang menyeluruh dari kebijakan dan tata aturan soal TKI dapat menguraikan kekacauaan benang kusut ini.

100 Hari Pertama dan Persoalan yang Datang Silih Berganti

Sejak hari pertama bertugas, usai pelantikan sebagai anggota dewan di awal Oktober lalu, sederet agenda telah memenuhi jadwal Hj. Ledia Hanifa Amalia, SSi, MPsi.T, yang mendapat amanah berbakti lewat komisi IX, komisi yang membawahi lingkup Kesehatan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Program 100 hari pertama para Menteri di Kabinet Indonesia Bersatu jilid II harus dicermati, sementara berbagai persoalan yang berkait dengan masalah ketenagakerjaan serta kesehatan datang silih berganti.Sebut saja misalnya kasus warga Bandung yang menderita sakit setelah mengkonsumsi obat anti penyakit “Kaki Gajah”.Belum tuntas urusan “Kaki Gajah”, muncul pengaduan dari karyawati sebuah rumah sakit yang mengaku diberhentikan dari pekerjaannya karena mereka bersikukuh mengenakan busana muslimah di tempat kerja.

Ledia beserta jajaran rekan-rekan dari Komisi IX DPR RI pun menerima pengaduan masyarakat ini dan berupaya untuk memberi masukan solusi ataupun menjembatani masalah ini dengan aktif melakukan mediasi.Tak hanya itu, persoalan belum terpenuhinya hak masyarakat akan layanan kesehatan prima termasuk diantaranya keberadaan Jaminan Sosial yang sesungguhnya merupakan amanat Undang-undang , masih terkatung-katungnya nasib kepastian payung hukum para perawat karena belum disahkannya RUU Keperawatan, minimnya pelayanan pada penderita HIV/AIDS hingga meminta penjelasan Menteri Kesehatan soal proyek Namru 2 adalah agenda-agenda lain yang dikerjakan secara simultan.

Perjalanan memang masih panjang. Tugas pengabdian kepada bangsa yang harus dikerjakan jelas masih banyak.Diantara agenda ke depan yang sudah dicanangkan menjadi bagian program kerja 2010 diantaranya adalah sosialisasi Undang-undang Kesehatan, evaluasi program Pola Hidup Bersih Sehat (PHBS), hingga kegiatan-kegiatan tentative yang harus siap dijalani setiap saat.Karena itu, mohon doa dari Anda semua agar Ledia Hanifa, tetap mampu berkiprah di dalam koridor pelayanan kepada masyarakat atas dasar keikhlasan, istiqomah menjunjung kebenaran dan profesionalisme.

Kalau Mau, Kita Bisa!

Orang boleh berkata bahwa peluang laki-laki dan perempuan dalam berkreasi dan berkontribusi  di tengah masyarakat sudah terbuka lebar-lebar di abad 21 ini. Begitupula bahwa sebenarnya perempuan Indonesia sungguh beruntung karena memiliki kesempatan memberi manfaat sosial jauh lebih besar dari berbagai perempuan di belahan bumi lain, semisal di beberapa negara Afrika dan Timur Tengah.
Namun itu bukan berarti langkah para perempuan ini tanpa kendala. Termasuk dalam menjadi anggota parlemen.
Menjadi anggota parlemen yang berarti memberikan kontribusi publik dalam hal menentukan kebijakan negara dan mengawasi jalannya pemerintahan masih menyisakan pe-er sangat besar di negeri ini. Bukan hanya soal jumlah yang masih sedikit (hanya terdapat sekitar  18 % perempuan di parlemen dari target pencapaian 30% sesuai undang-undang) namun juga soal kepercayaan publik dan kesiapan para perempuan itu sendiri. 
Perempuan yang menjadi anggota dewan kerap dipertanyakan kemampuannya. Bisa apa sih dia? Apa dia bisa, kan dia perempuan? Anak siapa sih? Backingnya siapa? Dan banyak lagi.
Dan pertanyaan-pertanyaan yang mempertanyakan kemampuan ini bisa muncul baik berkaitan dengan tugas-tugas kedewanannya maupun tugas-tugas “keperempuanannya”. Apa dia bisa menyeimbangkan aktivitas kedewanan dengan kehidupan rumah tangganya? Apa anaknya akan terurus dengan baik? Apa dia masih menjalankan kodratnya sebagai perempuan?
Kadang saya jadi senyum-senyum sendiri (atau bersama para staf di kantor) saat wartawan mempertanyakan itu dalam wawancara mereka. Sebab itu menjadi seolah-olah para lelaki anggota dewan tidak perlu berpikir untuk juga menyeimbangkan  aktivitas kedewanan dengan kehidupan rumah tangganya, tidak perlu mengupayakan agar anaknya terurus dengan baik dan tetap menjalankan kodrat kelelakiannya untuk mendidik dan mengayomi keluarganya.
Berikutnya, soal kinerja parlemen itu sendiri. Sebenarnya, perempuan atau laki-laki sih yang lebih aware terhadap suatu permasalahan? Well, jawaban saya singkat saja: It depends.
Jadi kalau kita bicara tentang para anggota dewan yang seringkali jadi sorotan terkait dengan kebijakan dan sensitivitas mereka akan sebuah masalah, jawabannya pun akan tergantung dari aktivitas si anggota dewan itu sebelumnya, background-nya apa.
Orang yang background-nya kaku pada satu profesi dan kemudian tidak juga terlibat interaksi sosial dengan masyarakat, ya memang susah. Tetapi kalau orang yang memang hidupnya, backgroundnya, simpel saja, sederhana, tapi banyak berinteraksi dengan orang, dia tentu sudah banyak mendapatkan aspirasi sebelumnya. Dia sudah tahu kondisi-kondisi lingkungannya, kiri-kanannya, masyarakatnya. Nah, orang seperti inilah yang biasanya lebih aware.
Begitupula dalam konteks sebagai anggota dewan. Meski kami sama-sama anggota dewan, tetap saja kami harus membangun common sense di antara kami. Kami tetap harus menyampaikan kepada teman-teman sesama anggota DPR, “Ini problem loh, ini harus diselesaikan loh. Atau, “Ini sebenernya enggak gede-gede amat persoalannya. Ini bisa dilakukan dengan cara begini dan begini.”
Jadi kami tetap harus menyosialisasikan persoalan-persoalan itu kepada teman-teman sendiri. Mungkin kita yang lebih banyak tahu menjadi harus banyak komunikasi. Dan kalau sudah perkara pemahaman, kemampuan mencari solusi, berkomunikasi, itu bukan lagi soal apakah dia laki-laki atau perempuan.
Kadang-kadang yang menohok saya adalah betapa kebanyakan orang, masyarakat kita, ternyata belum bisa melihat bahwa tidak semua perempuan anggota dewan sesungguhnya sedang ingin mengejar karier. Boleh jadi karena panggilan nurani. Bahkan dia harus mengorbankan sesuatu yang personal untuk kemudian memberikan kontribusi kepada masyarakat.
Bukan berarti laki-laki tidak berangkat juga dari adanya panggilan nurani untuk memberikan kontribusi kebaikan pada masyarakat, tetapi persoalannya, dalam kultur kita, urusan domestik itu memang masih diserahkan hampir sepenuhnya kepada sosok ibu. Sehingga effort yang dilakukan oleh seorang perempuan ketika dia berada di ranah publik pastilah jauh lebih besar ketimbang dengan bapak-bapak itu.
Artinya, “OK, si bapak mau beraktivitas dari pagi sampai pagi lagi di luar, maka dia tidak memikirkan rumah, sudah ada yang mengurus. Beda effort-nya dengan para ibu, bukan?”
Mungkin ada yang berkilah, Tetapi kan ibu-ibu ini punya pembantu (atau kerabat-kerabat lain yang mensupportnya)?” “Iya, memang betul, tapi, as a manager tetap saja dia yang mikirin.”
Jadi, kalau saya ngobrol-ngobrol dengan ibu-ibu yang jago-jago, yang hebat-hebat, di dewan itu, mereka akan tetap berkata dalam bagian dari pembicaraan “official” kami:  “Oh ini karena tadi pagi musti ngurusin sarapan dulu…” atau “Oh, tadi pagi enggak sempat ngurusin sarapan.” Atau “ Ayah, kita beli makanan di luar aja, yuk?” Nah, begitu.
Itu semua kan merupakan bagian dari sebuah managing. Sehingga saya sering menyampaikan, please…jangan tuntut seorang perempuan menjadi seorang superwoman tanpa ada kerja sama dengan pihak-pihak lain terutama dalam keluarga intinya.
Dan kemudian jangan juga kita menilai seseorang perempuan itu, dia berhasil mendidik anaknya atau enggak hanya dari kesertaannya sebagai anggota dewan.
Mari kita buat sebuah penilaian yang fair tentang perempuan di parlemen, dengan mengingat bahwa seorang laki-laki anggota dewan pun tentunya harus sukses dalam membangun keluarganya.
Bahkan, kalau kita bicara dalam konsep Islam, qowwam-nya rumah tangga adalah laki-laki. Sehingga sudah seharusnya mereka sebagai leader di keluarga pun berhasil.
Nah, karena itulah pertanyaan yang kadang menggelitik muncul adalah: kenapa para perempuan harus dinilai dua kali lebih berat ketimbang laki-laki padahal sebetulnya semua soal ini, baik urusan keberhasilan dalam kemaslahatan umat dan kemaslahatan rumah tangga adalah pekerjaan yang sama yang harus dilakukan laki-laki dan perempuan? Bantu-membantu.
Ini tentunya bukan sebuah upaya tuntut-menuntut untuk menjadi sama persis setara, ibarat apple to apple. Tidak begitu. Tetapi kita perlu selalu mengingat bahwa masing-masing pihak mempunyai proporsi. Maka, nilailah proporsi itu secara fair.
Sebenarnya, sebagai perempuan, kami sangat diuntungkan, karena secara psikologis rata-rata perempuan itu mampu multitasking. Bisa mengerjakan segala macam. Apalagi kalau yang terbiasa berorganisasi. Sambil memikirkan urusan masak-memasak, mereka bisa menelepon anak-anak, sekaligus mikirin undang-undang.
Kalau mau, seharusnya kita, para perempuan bisa membangun networking yang luar biasa sebagai supporting system. Namun kita juga harus melihat bahwa kita harus punya idealisme ketika berada di parlemen.
Idealismenya itu apa? ya dakwah. Artinya, coba dipertanyakan kembali. Kita ini sebenarnya mau jadi apa sih? Kita mau membangun apa sih? Kalau cuma mau cari duit di DPR, mending tidak usahlah. Bukankah kita ini harus membangun Indonesia yang adil, sejahtera, dan bermartabat?
Itu adalah idealisme yang harus kita bangun, dan untuk itu kitalah yang harus mem-breakdown implementasinya.
Memang, setiap orang punya idealisme yang berbeda-beda, dan range-nya pasti akan sangat beragam. Namun, langkah saya di parlemen sekarang ini alhamdulillah, saya rasa masih dalam track yang benar. Dan hingga kini, saya masih ingin mengoptimalkan semua potensi saya supaya saya bisa memberikan kontribusi yang lebih besar.
Karena yang saya yakin, kalau kita mau, kita bisa.
Perempuan, Bisa!











Catatan

Kunjungan